Sepasang Senyuman
Malam bukan jenaka, namun ada saja tawa yang terdampar di spasi kata. Bukan sesuatu yang disengaja, namun jemari mengejanya begitu saja. Kami bukan makhluk puitis tuan, hanya saja sedang belajar membaca makna implisit, yang ternyata begitu sulit. Kata memang bukan senjata. Iya, senjata yang kutahu adalah doa. Namun, mereka bilang senjata penulis adalah kata. Apakah tuan seiya dengan mereka? Kami terkesan bersinestesia. Renungkan saja, tangan seakan melihat. Padahal, ada sepasang mata yang jernih dicipta untuk mengamati sekeliling kita. Dan mata seakan merasa, padahal jelas indera pengecap, pun jelas telah dicipta. Semisal senyuman yang dibaca, lewat sepasang emoticon biasa. Bukankah ia juga telah dibaca oleh mata? Padahal seharusnya adalah dibaca lisan kita. 07 September 2017 Wa ila rabbika farghob Keep tawadhu -Juniar Sinaga-