Tentang Ibu dan Rindu
Adalah gerimis, ketika mendengar seorang Ibu menangis. Mengungkapkan nasihat dengan isak yang tak kunjung reda. Bertambah tumpukan rinduku, Ibu. Aku yang begitu cengeng saat di dekatmu, perlahan tangguh ditempa latar demi latar yang kusinggahi. Namun tetap saja, saat berdialog denganmu, saat bersua denganmu, nada-nadaku tak mampu kuhilangkan. Namun saat engkau mulai bernada manja, seketika itu pula aku seakan dewasa memberikan motivasi untukmu.
.
.
Gejolak yang pernah kita lalui, saat aku menetapkan hati untuk berhijrah pada Islam, kini mendapat jawaban yang indah dari Allah. Dengan agamaku, aku semakin mencintaimu. Baktiku padamu semata-mata karena titah Tuhanku. Dalam sujudku, tak pernah lupa, agar kiranya kelak Allah menyatukan kita dalam cintaNya. Bisa bersujud di baitNya, mendengar kumandang dan takbir yang menggema, bersama. Doaku yang tak pernah putus untukmu.
.
.
Aku begitu ingat saat orang lain menanyakan diriku yang kini berbeda, engkau menghadirkan jawaban yang membuatku terharu, dan ingin menangis kala itu. Jawabanmu bagaikan petir yang menyambar siang itu. Aku yang ditatapi karena 'seakan' jauh berbeda, tak merasa canggung waktu, sebab dengan senyuman engkau menjawab setiap tanya yang bertengger. Sementara aku, mengekor di belakangmu, sambil sesekali menggandeng tanganmu. Ah! ingin rasanya kembali kecil lagi. Agar aku bisa bermanja dan leluasa berayun di pangkuanmu. Namun itu hanya angan bodoh kupikir.
.
.
Perlahan engkau mulai sepuh, bukan fisikmu, namun tenagamu. Keluh yang kadang engkau ceritakan kupikir bukan karena engkau sudah tak sanggup, namun karena engkau ingin mendapatkan perhatian dariku kan Bu? engkau yang begitu tahu aku pemalas makan, tak pernah lupa untuk menanyakan apakah aku sudah makan. Itu selalu engkau tanyakan setiap kali menelponku. Ah! Ibu, rinduku padamu bermuara sendu.
.
.
"Nak, nanti kalau sudah menikah, baik-baik dengan suami, urus dia dengan baik," ucapmu suatu ketika. "Iya Oma (Ibu)," turutku waktu itu.
"Oma ingin menantu yang bagaimana?" tambahku waktu itu.
Paparan sederhanamu membuatku senyam-senyum di seberang pulau. Tak berani kutanyakan lagi yang lain. Sebab keinginanmu untuk memiliki menantu saja belum terkabul.
"Doakan aku ya Ma," aku tak lupa menyampaikan itu dalam setiap komunikasiku denganmu.
"Iya. Mana ada orang tua yang tidak mendoakan anaknya," jawabanmu membuatku tertawa dari seberang.
"Doakan aku ya Ma," aku tak lupa menyampaikan itu dalam setiap komunikasiku denganmu.
"Iya. Mana ada orang tua yang tidak mendoakan anaknya," jawabanmu membuatku tertawa dari seberang.
.
.
Doaku untukmu, untuk adik-adik tak pernah putus. Baktiku, kasih sayangku pada kalian semata-mata karena mengharapkan keridhoan Tuhanku, Allah Subhana wa ta'ala. Uhibbukum fillah.
Anambas, 27 April 2018
-Juniar Sinaga-
Keep tawadhu
Komentar
Posting Komentar